Kisah Seru: Air Mata Yang Menjadi Hujan Pertama
Air Mata yang Menjadi Hujan Pertama
Embun pagi merayap di kelopak mawar, persis seperti air mata yang diam-diam mengalir di pipi Lin Mei. Kota Shanghai menyambut mentari dengan hiruk pikuknya, namun dunianya terasa sunyi, beku dalam KEBOHONGAN. Lin Mei, pewaris tunggal Grup Li yang megah, menjalani hidup bak boneka porselen; cantik, sempurna, namun rapuh. Semua yang ia miliki, dari gaun sutra hingga senyum manisnya, adalah topeng yang dipahat dengan cermat.
Di sisi lain kota, tersembunyi di balik gang-gang sempit yang menyimpan debu dan rahasia, hiduplah Jiang Wei. Matanya setajam elang, pikirannya setajam pisau. Dendam adalah bahan bakarnya. Ia kembali ke Shanghai bukan untuk meraih kemewahan, melainkan untuk MENGUNGKAP kebenaran tentang kematian ayahnya—kebenaran yang terbungkus rapat dalam jaring keluarga Li.
Pertemuan mereka bagaikan takdir yang ditulis dengan tinta beracun. Lin Mei terpikat pada keteguhan Jiang Wei, pada sorot matanya yang menyimpan badai. Jiang Wei, meski dilanda amarah, tak mampu mengabaikan aura rapuh Lin Mei, seperti bunga teratai yang tumbuh di air keruh.
"Kau tahu, Lin Mei," bisik Jiang Wei suatu malam di bawah rembulan yang pucat, "kebenaran itu seperti embun. Indah, tapi bisa membekukan hatimu."
Lin Mei hanya tersenyum, senyum yang tak menyentuh matanya. "Kebenaran adalah kemewahan yang tak bisa kubeli, Jiang Wei. Aku hanya memiliki kebohongan."
Semakin dalam Jiang Wei menggali, semakin kuat aroma busuk yang menyelimuti keluarga Li. Ayah Lin Mei, seorang pengusaha kejam yang menghalalkan segala cara, ternyata terlibat dalam intrik gelap yang merenggut nyawa ayahnya. Namun, ada sesuatu yang aneh. Ada celah, ada keraguan yang mencuat.
Sementara itu, Lin Mei mulai merasakan retakan pada topengnya. Ia mulai mempertanyakan kehidupannya, mulai memberontak pada kurungan emas yang mengikatnya. Ia mencoba mencari tahu kebenaran, tetapi setiap langkahnya terhalang oleh dinding kebohongan yang menjulang tinggi.
Konflik mencapai puncaknya saat Jiang Wei menemukan bukti tak terbantahkan. Ia berhadapan dengan Lin Mei di puncak gedung pencakar langit, angin malam menyapu rambut mereka seperti bisikan kematian.
"Ayahmu…" suara Jiang Wei bergetar, "…dialah yang bertanggung jawab atas kematian ayahku."
Lin Mei terhuyung. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Ia sudah menduga, tetapi mendengar kebenaran itu menghancurkan jiwanya.
"Aku… aku tidak tahu," bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar.
Namun, Jiang Wei melihat sesuatu yang lain di matanya. Ia melihat kebenaran. Ia melihat ketidakberdayaan. Ia melihat Penderitaan.
"Kau tidak bersalah, Lin Mei," katanya. "Tapi kau adalah bagian dari kebohongan itu."
Balas dendam Jiang Wei tidak berdarah. Ia tidak membunuh Lin Mei, atau menghancurkan Grup Li. Ia hanya MEMBUKA kebenaran, membiarkan cahaya menyinari kegelapan. Ia mengungkap semua intrik ayah Lin Mei kepada publik, menghancurkan reputasi keluarga Li, dan membiarkan hukum mengambil alih.
Lin Mei menyaksikan keruntuhan dunianya dengan tenang. Tidak ada air mata lagi. Hanya senyum pahit yang menghiasi bibirnya. Senyum perpisahan.
"Terima kasih, Jiang Wei," katanya. "Kau membebaskanku."
Jiang Wei hanya menatapnya. Dendamnya telah terbalaskan, tetapi hatinya terasa kosong. Ia telah menemukan kebenaran, tetapi kehilangan sesuatu yang berharga dalam prosesnya.
Lin Mei berbalik dan berjalan menjauh, menghilang di tengah keramaian kota.
Beberapa bulan kemudian, Jiang Wei menerima sebuah paket tanpa nama. Di dalamnya terdapat sebuah mawar putih yang layu dan sebuah surat yang hanya berisi satu kalimat: "Apakah embun yang membeku bisa mencair menjadi hujan?"
You Might Also Like: Official Dominican Consulate In