Drama Abiss! Aku Melangkah Menjauh, Tapi Bayanganmu Selalu Lebih Cepat
Hujan gerimis membasahi Jembatan Baishi, kabut menyelimuti seperti kerudung kesedihan. Di sinilah, lima tahun lalu, aku berjanji padamu, Lian, di bawah rembulan pucat. Janji tentang keabadian, tentang tangan yang takkan pernah lepas, tentang masa depan yang dilukis dengan warna-warna mimpi. Kebohongan yang Indah.
Kau memilih klanmu, Lian. Kekuatan dan kehormatan. Kau memilih takhta yang dijanjikan padamu, bukannya gubuk sederhana bersamaku, tempat kita memimpikan kebebasan. Aku mengerti. Setidaknya, aku mencoba mengerti.
Aku ingat, saat itu, air mataku terasa dingin di pipi. Kau, dengan mata elangmu yang biasanya begitu tajam, terlihat begitu rapuh, Lian. Kau mencengkeram tanganku erat, seolah takut aku menghilang. Tapi kau melepaskannya. Kau HARUS melepaskannya.
Lima tahun. Lima tahun aku mengembara, melatih diri, mengasah pedang, bukan untuk menaklukkan dunia, tapi untuk melupakanmu. Aku membangun tembok tinggi di sekeliling hatiku, mencoba memadamkan bara api yang kau tinggalkan. Sia-sia.
Semalam, aku melihatmu. Di festival lentera, di tengah kerumunan. Kau berdiri di sana, dengan jubah kebesaran klanmu, wajahmu tanpa ekspresi. Cahaya lentera menari-nari di sekitarmu, tapi matamu kosong.
Kemudian, kau melihatku.
Ada getar kecil di bibirmu. Aku melihat penyesalan, kesedihan, bahkan ketakutan—semuanya berkelebat di matamu yang dulu begitu kukagumi. Kau mencoba mendekat, tapi para pengawalmu menahanmu. Aku membiarkanmu. Aku melangkah mundur.
Aku melangkah menjauh, tapi bayanganmu, BAYANGANMU YANG MENYAKITKAN, selalu lebih cepat. Bayanganmu mengejarku dalam setiap mimpi, dalam setiap langkah. Bayanganmu adalah kutukan yang tak bisa kuhindari.
Beberapa bulan kemudian, berita itu sampai padaku. Penyakit aneh menjangkiti klanmu, Lian. Satu per satu, mereka tumbang. Para tabib terhebat pun tak mampu menemukan penawarnya. Aku mendengar kau sendiri sakit parah.
Aku tidak pergi menjengukmu.
Aku tidak mengirim tabib.
Aku hanya duduk di gubuk sederhanaku, di bawah rembulan yang sama, menunggu.
Tak lama kemudian, datanglah kabar kematianmu. Klanmu runtuh bersamamu. Kekuatan dan kehormatan lenyap seperti debu tertiup angin. Takhta yang kau pilih, hancur menjadi puing-puing penyesalan.
Bukan aku yang melakukannya. Aku bersumpah, bukan aku. Tapi, mungkin, takdir memang memiliki cara sendiri untuk menuntut keadilan. Mungkin, alam semesta mendengar janji yang kau langgar, Lian.
Malam ini, aku berdiri di depan makammu, Lian. Di atas batu nisan terukir namamu, di bawahnya tumbuh bunga-bunga LILI, bunga kesukaanmu.
Cinta dan dendam, kini, bagaikan dua sisi koin yang sama, dan aku tidak tahu mana yang akan jatuh terlebih dahulu.
You Might Also Like: Reseller Kosmetik Passive Income Di