Cinta Yang Kutulis Dengan Tinta Air Mata
Cinta yang Kutulis Dengan Tinta Air Mata
Aroma dupa cendana memenuhi Paviliun Anggrek, namun wanginya tak mampu menutupi kepahitan yang bersemayam dalam diri Mei Hua. Lima belas tahun lalu, di tempat inilah, ia mereguk madu cinta pertama bersama Pangeran Mahkota, Li Wei. Lima belas tahun lalu pula, di paviliun ini, cintanya diinjak-injak, dihancurkan demi kekuasaan dan ambisi.
Mei Hua, yang dulunya dikenal dengan senyum semanis madu dan hati selembut sutra, kini adalah bayangan dirinya sendiri. Jalinan benang sutra yang dulu menghiasi gaunnya telah digantikan baju zirah tak kasat mata, melindungi hati yang terluka. Wajahnya tetap cantik, namun kecantikannya kini memancarkan ketenangan dingin, seolah bunga es yang tumbuh di tengah badai salju. Ada kekuatan dalam diamnya, bahaya dalam senyumnya.
Pangeran Li Wei, kini Kaisar yang berkuasa, telah melupakannya. Baginya, Mei Hua hanyalah kenangan masa lalu, seorang bidak yang dikorbankan demi mengamankan takhta. Namun, ia tak tahu bahwa bidak itu telah bangkit, menjelma menjadi ratu yang siap memainkan permainan yang lebih mematikan.
Mei Hua kembali ke istana sebagai Nyonya Besar Mei, istri dari Jenderal Zhao, seorang pahlawan perang yang setia kepada Kaisar. Pernikahan ini adalah alat, jembatan baginya untuk mendekati sang Kaisar, untuk mengamati dan merencanakan. Ia tidak mencari amarah yang membara, melainkan perhitungan yang dingin. Ia tidak menginginkan kekacauan, melainkan keadilan—keadilan yang dirancang dengan sempurna.
Malam demi malam, ia hadir di perjamuan istana, menebar senyum ramah, menuangkan anggur untuk para pejabat, dan mengumpulkan informasi. Dengan setiap kata yang ia dengar, dengan setiap kebohongan yang ia lihat, rencananya semakin matang. Ia belajar mengendalikan emosinya, mengubah luka menjadi kekuatan.
Suatu malam, Kaisar Li Wei memanggilnya ke taman kekaisaran. Di bawah sinar bulan, di antara bunga sakura yang berguguran, ia akhirnya bertatap muka dengan masa lalunya.
"Mei Hua," bisik Kaisar, suaranya bergetar. "Aku… aku menyesal."
Mei Hua tersenyum tipis. "Penyesalan adalah beban yang berat, Yang Mulia. Tapi, beban itu tidak lagi menjadi milikku."
Ia menatapnya, matanya sedalam sumur tanpa dasar. "Kau menginginkan balas dendam?" tanya Kaisar, suaranya mencerminkan ketakutan.
Mei Hua menggelengkan kepalanya. "Balas dendam adalah api yang membakar diri sendiri. Aku hanya menginginkan apa yang seharusnya menjadi milikku sejak awal." Ia mendekat, membisikkan sesuatu di telinga Kaisar. Kalimat itu bagai racun yang merambat dalam darah, melumpuhkan dan mematikan.
Keesokan harinya, Kaisar Li Wei mengumumkan pengunduran dirinya. Ia menyerahkan takhta kepada putranya, dan memilih untuk mengasingkan diri ke kuil di pegunungan. Tidak ada yang tahu apa yang telah dikatakan Mei Hua kepadanya, namun semua orang merasakan dampaknya. Istana bergetar, bukan karena perang, melainkan karena bisikan seorang wanita yang hatinya telah hancur.
Mei Hua berdiri di balkon Paviliun Anggrek, menyaksikan matahari terbit. Pangeran Li Wei telah pergi, kekuasaannya telah sirna. Tidak ada amarah di hatinya, tidak ada dendam yang membara. Hanya ada ketenangan yang sempurna, kebebasan yang baru ditemukan. Ia telah mengubah air matanya menjadi tinta, dan menulis kisah hidupnya sendiri. Ia bukan lagi bunga yang tumbuh di medan perang, melainkan ratu yang telah memenangkan pertempuran tanpa menodai tangannya.
Dan ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai, karena mahkota sejati hanya akan bersinar ketika...
You Might Also Like: Skincare Pencerah Wajah Tanpa Iritasi